Apa
itu syukur?
Bahasa syukur bukanlah bahasa asing yang baru kita kenal, melainkan
bahasa yang sering kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari, namun pernahkah kita berfikir makna syukur yang sesungguhnya. Kita sama-sama tahu, bahwa syukur itu ialah
ungkapan terima kasih kepada Allah atas
apa yang telah dianugerahkan kepada kita semua.
Namun apakah rasa syukur itu hanya ditujukan untuk Allah semata, ataukah
ada yang lain?
Pada hakikatnya, Allah lah yang telah mengirimkan semua kenikmatan yang
ada di dunia ini. Allah memberikan kita rizki, dengannya kita dapat makan dan
minum, Allah mengaruniakan kita pakaian, dengannya kita dapat menutup aurat dan
berhias, Allah menganugerahkan kita tempat tinggal, di dalamnya kita dapat
beristirahat dengan nyaman, Allah memberikan kita kendaraan, dengannya kita
dapat bepergian, Allah juga mengkaruniakan kita jasad yang sehat, dengannya
kita dapat beraktivitas, Allah juga yang telah menjadikan negeri kita meerdeka,
dengannya kita bisa hidup dengan keadaan aman, damai dan sentosa.
Semuanya itu adalah kenikmatan yang Allah anugerahkan kepada kita,
tiada suatu apapun dan sekecil apapun nikmat melainkan itu datangnya dari
Allah. Dan yang lebih berharga dari itu semua, Allah pula yang mengaruniakan
kepada kita nikmat iman dan islam.
Namun, pernahkah kita berfikir bahwa dibalik sekian banyaknya
nikmat yang Allah anugerahkan kepada kita semata-mata adalah sebagai bentuk ujian
untuk kita? Apakah kita akan menjadi hamba-Nya yang bersyukur ataukah justru menjadi
orang yang kufur.
Sebagai mana yang diungkapkan oleh Nabiyullah Sulaiman a.s, tatkala
Nabiyullah ini mendapatkan nikmat, beliau mengatakan:
“Ini termasuk karunia
dari Rabb-ku untuk mengujiku, apakah aku bersyukur ataukah mengingkari
(nikmat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk
(kebaikan) dirinya sendiri. Dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya
Rabb-ku Maha Kaya lagi Maha Mulia.” (QS. An-Naml: 40).
Hikmah yang bisa kita ambil dari ayat ini ialah hendaknya kita
bersyukur kepada Allah dan jangan menjadikan
diri kita kufur atas ni’matnya, hendaknya kita senantiasa tahu dari mana ni’mat
ini berasal dan tidak lupa siapa yang telah manganugerahkan tersebut untuk kita.
Hendaknya kita lebih taat dengan adanya nikmat tersebut dan tidak menjadikan
kita bermaksiat kepada-Nya atas nikmat yang ada.
Keadaan seperti inilah yang menjadikan penulis bertanya-tanya,
sejauh mana sih kita memahami makna syukur itu? Bersamaan dengan hal itu, pada kesempatan
ini kita akan sama-sama belajar tentang apa itu syukur, bagaimana melakukannya,
kepada siapa kita harus bersyukur, serta apa manfaatnya bagi kita.
Hakikat
Syukur
Kata “syukur” adalah kata yang berasal dari bahasa Arab.
Dalam Al-Quran kata “syukur”
dengan berbagai bentuknya ditemukan sebanyak enam puluh empat
kali. Ar-Raghib Al-Isfahani salah seorang yang dikenal sebagai pakar
bahasa Al-Quran menulis dalam Al-Mufradat fi Gharib Al-Quran, bahwa kata
“syukur” mengandung arti “gambaran dalam benak
tentang nikmat dan menampakkannya ke permukaan”.
Kata ini dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan
sebagai: rasa terima kasih kepada Allah, dan rasa beruntung (menyatakan lega,
senang, dan sebagainya)
Menurut Dr. M. Quraish Shihab kata syukur ini berasal dari
kata “syakara” yang berarti “membuka”, sehingga ia merupakan lawan dari
kata “kafara” (kufur) yang berarti menutup atau melupakan nikmat yang diberikan
oleh Allah swt.
Menurut Sudirman Tebba Syukur berarti berterima kasih kepada Allah
atas nikmat yang telah dilimpahkan kepada manusia. Dan pada hakikatnya syukur
adalah pengakuan terhadap nikmat Allah dengan hati dan tindakan.
Menurut Fachruddin HS dan Irfan Fachruddin syukur artinya membalas
jasa, menghargai pemberian, serta menggunakan pemberian itu menurut sewajarnya
dan dengan cara yang sebaik-baiknya. Sedangkan menurut Ahmad Mudjib Mahalli
syukur merupakan bagian dari pengakuan terhadap kebaikan dan pemberian
yang kita terima dari sisi-Nya sebagai Tuhan pencipta segala makhluk dan alam
semesta.
Selain sebagai ungkapan terima kasih, mengingat Allah juga
merupakan salah satu bentuk syukur kepada-Nya. Hal ini sesuai dengan salah satu
hadits qudsi yang berbunyi:
قَا اللهُ تَعَالىَ : يَاابْنَ اَدَمَ, اِنَّكَ مَاذَكَرْتَنِى
شَكَرْتَنِى, وَاِذَامَانَسِيْتَنِى كَفَرْتَنِى (رواه الطبرانى عن ابى هريرة)
“Allah berfirman dalam hadits qudsi-Nya: “wahai anak Adam, bahwa
selama engkau mengingat Aku, berarti engkau mensyukuri Aku, dan apabila engkau
melupakan Aku, berarti engkau telah mendurhakai Aku!”. (H.R Thabrani)
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa syukur
(bersyukur) berarti ungkapan rasa terima kasih kepada Allah swt. dengan membuka
atau mengakui bahwa nikmat tersebut berasal dari-Nya. Serta direalisasikan
dalam perbuatan dengan meningkatkan ketaatan kepada Allah, menggunakan nikmat
tersebut sesuai fungsinya, dan berusaha menahan diri dari larangan-Nya.
Bagaimana
Cara Bersyukur
Syukur tidak hanya dengan mengucapkan pujian bagi Allah (mengatakan
Alhamdulillah), akan tetapi syukur adalah dengan hati, lidah, dan perbuatan.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Qudamah r.a bahwa, “syukur (yang
sebenarnya) adalah dengan menggunakan hati, lisan (lidah), dan dengan perbuatan
anggota badan”.
a.
Bersyukur Dengan Hati
Bersyukur dengan hati dilakukan dengan cara al-I’tiraf atau
senantiasa menyadari, mengakui, mengingat dan menghadirkan dalam hati bahwa
setiap nikmat yang kita rasakan tersebut dari Allah, dan bukan dari siapa pun.
Allah lah, dengan kasih sayang-Nya, keutamaan dan kebaikan-Nya yang telah
memberikannya kepada kita. Ingatlah, kapan pun saat hati kita merasakan hal
itu, berarti hati kita sedang bersyukur kepada Allah.
b.
Bersyukur Dengan Lidah
Bersyukur dengan lidah dapat dilakukan dengan at-Tahadduts, yang
berarti menyampaikan atau menyebut-nyebut nikmat tersebut, memuji Allah (dengan
mengucapkan Alhamdulillah), serta menisbatkan nikmat itu kepada Allah. Bukan
malah merasa sombong dan berbangga diri dengan kenikmatan itu seolah semua itu
hanyalah hasil jerih payah kita. Seperti dijelaskan dalam firman Allah dalam
surat adh-Dhuha ayat 11 berikut:
وَ
اَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّث
“dan terhadap nikmat Tuhanmu, Maka hendaklah kamu siarkan”.
c.
Bersyukur dengan Perbuatan Anggota Badan
Bersyukur dengan perbuatatan anggota badan adalah syukur yang
paling penting. Ia dilakukan dengan cara menggunakan semua nikmat tersebut
dalam rangka membantu kita di dalam mentaati Allah (ath-Tha’ah). Kita pakai
semua nikmat itu di jalan yang diridhoi oleh pemiliknya. Serta menahan diri
agar jangan menggunakan kenikmatan itu untuk bermaksiat kepada-Nya.
Selain itu, Imam Ghazali menegaskan bersyukur kepada Allah swt atas
nikmat yang telah diberikan dengan anggota tubuh meliputi tujuh anggota yang
penting berikut:
a.
Mata,
mensyukuri nikmat adanya mata dengan tidak menggunakannya untuk melihat hal-hal
yang maksiat.
b.
Telinga,
digunakan hanya utnuk mendengarkan hal-hal yang baik yang boleh didengar.
c.
Lidah,
mensyukurinya dengan banyak mengucap zikir, puji-pujian kepada Allah swt., dan
mengungkapkan nikmat-nikmat yang telah diberikan Allah sebagaimana firman-Nya
dalam surat ad-Dhuha di atas.
d.
Tangan,
digunakan untuk melakukan kebaikan, baik untuk diri sendiri maupun untuk orang
lain, dan tidak menggunakannya utnuk hal-hal yang haram.
e.
Perut,
dipakai hanya untuk memakan makanan yang halal dan baik serta tidak
berlebih-lebihan (mubadzir).
f.
Kemaluan
(seksual), untuki dipergunakan di jalan yang diridhai Allah (hanya bagi suami
istri) dan disertai dengan niat memelihara diri dari perbuatan haram.
g.
Kaki,
digunakan untuk berjalan ke tempat-tempat yang baik, seperti pergi ke masjid,
berhaji ke baitullah, mencari rezeki yang halal, dan menolong sesama umat
manusia.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa bersyukur itu tidak hanya
dengan memuji Allah (dengan mengucapkan lafaz “Alhamdulillah”) saja, akan
tetapi bersyukur juga dilakukan dengan cara mengakuinya dalam hati bahwa nikmat
itu berasal dari Allah serta menggunakan nikmat tersebut untuk mencari ridha
Allah swt.
Kepada
Siapa Kita Hendaknya Bersyukur
Pada prinsipnya segala bentuk rasa syukur, harus kita tujukan
kepada Allah Swt. sebagaimana Al-Quran memerintahkan umat
Islam untuk bersyukur setelah menyebut beberapa nikmat-Nya:
Artinya: “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya aku ingat
(pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari
(nikmat)-Ku”. (Q.S Al-Baqarah: 152)
Namun demikian, walaupun rasa syukur harus
ditujukan kepada Allah, dan ucapan syukur yang diajarkan adalah
“Alhamdulillah” dalam arti “segala puji (hanya) tertuju kepada
Allah”, akan tetapi ini bukan berarti bahwa kita dilarang bersyukur
(berterima kasih) kepada mereka yang menjadi perantara kehadiran nikmat Allah.
Al-Quran secara tegas memerintahkan agar bersyukur kepada Allah dan
juga mbrsyukur terhadap kedua orang tua (yang menjadi perantara
kehadiran kita di pentas dunia ini.) seperti
dalam surat Luqman ayat 14:
وَمَنْ
لاَيَشْكُرِ النَّاسَ لاَيَشْكُرِ اللهَ
“barang siapa
yang tidak bersyukur kepada manusia, berarti ia tidak bersyukur kepada Allah”.
(H.R Ahmad dan Baihaqi)
Jadi, berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa selain
kita harus menisbatkan rasa syukur kita hanya kepada Allah, kita juga
diperintahkan oleh Allah untuk bersyukur (berterima kasih) kepada kedua orang
tua yang telah menjadi perantara kehadiran nikmat Allah berupa kehidupan ke
dunia ini. Selain kepada kedua orang tua, kita juga jangan angkuh dan bodoh.
Walaupun tidak disebutkan secara spesifik tentang bersyukur (berterima kasih)
kepada sesama manusia, tapi kita juga harus berterima kasih kepada siapa saja
(selain kedua orang tua), yang telah menjadi perantara kehadiran nikmat Allah.
Misalnya, bisa jadi kita mendapatkan nikmat itu melalui teman kita, aktivitas
jual beli, bekerja atau yang lainnya, semuanya itu adalah hanyalah perantara
untuk mendapatkan nikmat. Dan kita tetap seharusnya berterima kasih kepada
mereka semua.
Wallahu
A’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar